Wulan
Sari
Pendiri
Sekolah Untuk Para Pemulung
Penulis
: Suhermi Widiastuti
Wulan
Sari, lahir di Jogja, 25 Maret 1970
adalah seorang ibu rumah tangga pada umumnya. Namanya kemudian dikenal
dikalangan pemulung daerah Bantargebang sebagai pendobrak angka buta huruf
pada anak-anak pemulung usia sekolah. Pendiri sebuah sekolah gratis untuk para
pemulung yang diberi nama PKBM Al Falaah. Sari, begitu panggilan beliau, lahir
dari keluarga cukup terpandang tetapi bukan dari keluarga yang memiliki
latarbelakang kalangan guru atau pendidik. Ayah beliau bekerja di pabrik gula,
dan ibu beliau sebagai ibu rumah tangga yang menghabiskan banyak waktunya untuk
berkegiatan sosial disela-sela kesibukannya sebagai seorang ibu.
Sari
tumbuh menjadi seorang anak yang memiliki jiwa sosial yang tinggi berawal dari
kebiasaan sang ayah sering mendongeng kepada anak-anaknya tentang kehidupan
masyarakat kalangan bawah untuk menumbuhkan jiwa sosial bagi anak-anaknya.
Bahkan ketika liburan tiba, sang ayah sering mengirim Sari kecil untuk berlibur
di lingkungan bantaran sungai, dan dia dititipkan untuk tinggal bersama
pembantunya selama menghabiskan masa liburan guna mengikuti kegiatan
sehari-hari para pemulung di sekitar bantaran sungai itu. Kegiatan inipun
menuai hasil, karena Sari tumbuh menjadi seseorang yang memiliki kepekaan
tinggi kepada lingkungan sekitarnya terlebih bagi kalangan tidak mampu. Kerap
menyisihkan uang jajannya untuk diberikan kepada para fakir miskin, bahkan
berkeliling mencari para pengemis, pengamen atau pemulung untuk memberikan
sumbangan dari uang jajan yang dikumpulkannya. Sari kecil memiliki mimpi besar, ketika nanti memiliki kemampuan untuk
menolong fakir miskin, memberikan tempat berteduh agar mereka tak lagi didera
hujan dan teriknya matahari, dan aku ingin bisa mendirikan sekolah agar mereka
bisa mengejar cita-cita setinggi cita-citaku dan jutaan anak-anak di luar sana.Yang
saat itu belum mampu Ia wujudkan.
Setelah
menikah tahun 1996, kemudian sekitar tahun 2006 Sari hijrah ke Bekasi. Namun
karena tinggal di perumahan elit maka Sari kesulitan untuk mencari para fakir
dan dhuafa di lingkungannya. Terlebih sebagai ibu rumah tangga yang memiliki
anak-anak yang masih kecil sulit baginya untuk bermobilitas secara bebas. Hal
ini tentu saja membuat hatinya resah seperti ada yang mengganjal dalam hatinya.
Ia kerap meminta sang suami untuk mengantarkannya berkeliling mencari para
dhuafa untuk menyalurkan dana yang Ia sisihkan dari uang belanja bulanan yang
diterimanya.
Hingga
suatu ketika karena ketidaksengajaan, Sari menemukan satu perkampungan kumuh
diantara tumpukan-tumpukan sampah di lokasi pembuangan sampah akhir
Bantargebang. Lokasi tempat pembuangan sampah akhir di Bantargebang
ini dipenuhi oleh rumah-rumah semi permanen di sekitarnya, bahkan terkesan
sangat tidak layak huni. Rumah-rumah bedeng yang terbuat dari papan-papan dan
kayu-kayu bekas bahkan diantaranya dilapisi oleh kardus-kardus yang jika musim
penghujan tiba kondisinya sangat memprihatinkan. Di lokasi inilah juga dihuni
oleh para pendatang dari berbagai daerah di Indonesia untuk mengadu nasib
menjadi pemulung. Banyak permasalahan sosial yang terjadi dalam lingkungan ini,
antara lain adalah masalah pemenuhan akan pendidikan bagi anak-anak yang
tinggal disana.
Hatinya
trenyuh melihat banyak anak usia sekolah justru tidak bersekolah. Kondisi ini
yang membuat Sari berkeinginan mewujudkan mimpinya untuk membuat sekolah gratis
untuk para fakir miskin. Sari meminta kepada warga setempat untuk meminjamkan
mushola yang hanya berupa bedeng dari papan-papan bekas untuk dijadikannya
tempat belajar bagi anak-anak mereka yang bersungguh-sungguh mau belajar secara
gratis.
Akhirnya
bulan Juli 2007 sekolah Al Falaah untuk para pemulung ini resmi didirikan.
Dengan kondisi masih sangat tidak layak, namun optimisme Sari sangat luar
biasa. Tentu saja awalnya tidak mudah dilalui. Banyak kenadala yang dihadapi
terlebih dari masyarakat lingkungan tersebut. Intimidasi, ancaman dan cacian
kerap diterimanya. Tetapi hal ini tidak menyurutkan niat yang telah tertanam
kuat dalam diri Sari. Awalnya masyarakat lingkungan tersebut mengira bahwa apa
yang dilakukan Sari adalah upaya untuk mencari uang dan ketenaran dengan
mengexploitasi anak-anak pemulung itu. Bahkan sering pula oknum-oknum tertentu
yang memeras dengan memintanya sejumlah uang. Proses yang sangat sulit ini
mampu Sari lalui akhirnya.
Di
masa-masa awal, Sari mampu mengumpulkan 60 siswa berumur 3 sampai 6 tahun. Namun
kendala selanjutnya yang kemudian dialaminya adalah penyediaan tenaga pengajar.
Karena Sari sendiri tidak memungkinkan untuk datang setiap hari ke Bantargebang.
Proses pencarian tenaga pengajarpun tidak dengan mudah diperoleh. Beberapa
kandidat telah mencoba untuk membantunya, namun banyak juga yang akhirnya
berguguran dengan kondisi lingkungan tempatnya mengajar diantara tumpukan
sampah dengan bau yang menyengat juga dikerubungi lalat-lalat. Hingga akhirnya
Sari menemukan seorang ibu rumah tangga yang memiliki keinginan kuat untuk
membantunya mengajar. Dengan beliaulah Sari bisa bersinergi untuk
memberikan sumbangsihnya kepada anak-anak pemulung, melalui sekolah yang
didirikannya.
Kendala
yang terkait dengan proses belajar mengajar tentu wajar terjadi mengingat latar
belakang anak-anak ini. Anak-anak didik Sari yang berasal dari lingkungan
seperti ini tentu saja cukup menyulitkan baginya dan guru-guru untuk dididik
seperti sebuah sekolah pada umumnya. Misalkan berkaitan dengan kebersihan, hal
ini sangat sulit diterapkan pada awalnya karena mereka hidup di kelilingi oleh
tumpukan sampah-sampah yang menggunung. Bahkan untuk kebersihan badan mereka
sendiri pun sangat tidak mudah diterapkan. Terkadang untuk datang ke sekolahpun
tidak mandi dan berganti pakaian. Namun tantangan-tantangan ini lambat laun
dapat diatasi. Tak ada perjuangan yang tidak menuai hasil jika
bersungguh-sungguh untuk memperjuangkannya. Meski pencapaian masih jauh dari
harapan seorang Sari. Mewujudkan sebuah sekolah gratis untuk anak-anak pemulung
secara berkualitas dan islami.
Kondisi
sekolah yang sangat tidak layak ini membuat Sari berfikir untuk bisa mendirikan
sekolah dengan gedung permanen yang layak. Namun terkendala dengan pembiayaan
yang tentu saja tidak sedikit. Namun Allah mengirimkan seseorang yang tidak
dikenalnya untuk mewakafkan sebidang tanah tidak jauh dari lokasi sekolah.
Pertolongan Allah begitu dekat, ketika dengan sungguh-sungguh memohon ditengah
ketidakberdayaannya, Allah mengirimkan pertolongan lewat jalan yang tidak
disangka-sangka. Tahun 2010, sekolah mulai dibangun dilahan 1500 m2.
Kesulitan-kesulitan finansial selama pembangunan dan penyediaan fasilitas serta
operasionalnya lagi-lagi dapat diatasi dari jalan yang tidak terduga.
Begitulah,
Sari mendirikan Al Falaah sebagai sekolah non formal yang resmi terdaftar di
Diknas sebagai Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat atau PKBM. Atau yang lazim
disebut dengan Paket A, Paket B dan Paket C. Sari memilih PKBM sebagai jalur
lembaga pendidikan karena segmennya adalah anak-anak pemulung yang cenderung
keluar masuk mengikuti orangtuanya yang kadang-kadang pulang kampung
berbulan-bulan lalu masuk kembali dan memohon untuk bisa bersekolah lagi.
Kurikulum
yang digunakan sama seperti PKBM yang lain. Kurikulum yang mengacu ke Diknas
dengan mata pelajaran dasar yang diujikan pada Ujian Nasional. PKBM Al Falaah
sudah resmi terdaftar dan memiliki hak untuk mencantumkan nama lembaga di
ijazah siswa. Ijazah ini resmi dan bisa digunakan untuk melanjutkan sekolah di
jenjang universitas .
Untuk
PKBM Al Falaah, Sari menambahkan muatan agama dan penekanan life skill untuk
siswa Paket C atau setara SMA. Mata pelajaran sama persis dengan sekolah
formal lainnya. Bahkan ada mata pelajaran dan praktek wirausaha untuk siswa
Paket C atau setara SMA. Untuk ekstra kurikuler, diajarkan Bahasa Jepang
yang diajarkan oleh volunteer alumni mahasiswa Jepang juga beberapa
keterampilan lainnya.
Untuk proses
mengkampanyekan pentingnya sebuah pendidikan dan sebagai syiar islam maka
kegiatan yang juga dilakukan adalah dengan mengadakan taklim untuk ibu-ibu
pemulung secara rutin. Penyuluhan, bimbingan, dakwah, home visit, personal
approach, serta untuk terjun mengulurkan tangan ketika terjadi emergency
dan ada umat yang membutuhkan uluran tangan.
Tahun
2012 sampai dengan tahun 2017, Sari mengikuti sang suami bertugas di Paris,
Perancis. Kondisi Al Falaah sudah bisa terkondisikan dengan baik. Di bantu
beberapa rekan-rekan Sari untuk menjalankan sekolah yang dengan susah payah
dirintisnya. Kini Sari tinggal di negara Malaysia, masih mengikuti suami
bertugas. Al Falaah sudah menjelma menjadi sebuah sekolah gratis untuk para
pemulung yang layak untuk menjadi tempat menuntut ilmu bahkan tidak kalah
dengan sekolah lainnya. Beberapa volunteer berdatangan menjadi tenaga pengajar
ahli untuk mengasah life skill para siswanya, bahkan banyak
bantuan-bantuan yang diperoleh untuk anak-anak dhuafa ini tanpa di minta oleh
Sari ataupun oleh para pengajar di sana. Bahwa semua bentuk bantuan itu
semata-mata Allah yang menggerakkan. Dimuat pada majalah literasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar