Selasa, 12 Oktober 2021

Selendang Dara (Ending)

#Cerita_Bersambung  

 


                                                                                                         Design Gambar By Canva           

 

            Dara dan Raden Arya hampir satu jam lebih berkutat di lokasi pertemuan mereka di dalam hutan. Berharap ada petunjuk agar dara bisa kembali ke dunianya. Namun sampai malam mulai beranjak naik dan suasana makin gelap, tak ditemukan setitikpun petunjuk. Dara mulai merasakan putus asa yang teramat sangat, pupus sudah harapannya untuk bisa pulang bertemu dangan Ibu dan adiknya, karena sang ayah telah lama berpulang. Rindu juga dengan teman-temannya, kampus, dan tentunya saja dengan Biem. Walau jujur, berada di dekat Raden Arya ada rasa yang tak terjabarkan. Rasa yang membuatnya nyaman, tapi tetap saja dirinya sadar bahwa ini bukan dunianya.

            Dara tak ingin semakin lama terjebak dalam dunia dimana bukan seharusnya Ia berada. Namun saat ini, semua harapan seakan hilang. Dara mulai merasakan sesak yang teramat sangat, airmatanya menetes tanpa bisa ditahan. Kalau saja tidak ada Raden Arya Sena, mungkin dirinya sudah terjatuh ke tanah. Dengan sigap Raden Arya menahan tubuh Dara yang seperti kehilangan keseimbangan. Raden Arya memeluk Dara seraya mengajaknya kembali ke kediamannya.

“Diajeng, kita kembali dulu ke kediamanku malam ini, aku berjanji bagaimanapun caranya  Diajeng akan bisa kembali pulang, walau bukan malam ini,” Ujarnya sambil membimbing Dara berjalan menuju tempat di mana kuda putihnya ditambatkan.

          Sepanjang perjalanan Dara terus terisak, perih menyerah hati Raden Arya melihat seseorang yang telah mencuri hatinya dalam keadaan kecewa dan sedih yang tak terkira. Setelah mengantarkan Dara menuju kamarnya, Raden Arya Sena kembali memacu kuda tangguhnya untuk menuju rumah seseorang. Dialah Ki Anom Surapati, seorang yang disegani karena kesaktian dan kebijaksanaannya, dan tentu saja menjadi guru bagi Kanjeng Tumenggung Raka Sena dan tentu saja juga bagi dirinya.

“Raden, salah satu cara untuk membuka pintu menuju dunia masa depan dimana Dara semestinya berada, adalah dengan cara mengikhlaskannya, “ Ujar Ki Anom Surapati seraya menepuk pundak Raden Tumenggung, “Jangan menahan diri gadis itu dengan perasaan apapun yang sekiranya akan mempersulit pintu itu terbuka, Aki tahu Raden berharap gadis itu menjadi pendamping Raden karena Raden menaruh hati padanya,

dan tentu saja ini yang menahan semua, karena gadis itu sebenarnya memiliki perasaan yang sama dengan Raden, hanya saja kecintaan gadis itu kepada keluarga dan orang-orang yang dicintai di dunianya yang membuatnya tidak ingin berlama-lama di sini.”

            Raden Arya Sena menarik nafas panjang, wajah tampannya terlihat mendung, ada gurat kesedihan di sana dan rasa sakit yang teramat sangat. Ketika cinta yang sebenernya tak diharapkan justru hadir, sedang tahu itu tak mungkin bisa dimiliki rasanya sangat sakit. Ikhlas yang diharapkan menjadi pintu pembuka dua dunia sangat sulit dihadirkan, karena saat ini hatinya dipenuhi cinta dan harapan untuk bersatu.

“Raden, Aki sadar, ini sangat sulit bagi Raden dan juga gadis itu, tapi menahannya di sini justru akan membuatnya tersiksa,” Ki Anom menambahkan, “Raden bisa pikirkan masak-masak, Aki hanya bisa membantu dari sini, Raden yang menentukkan, semoga kelak Raden akan bisa menemuinya walau hanya dalam bentuk mimpi.”

           Setelah mengunjungi kediaman Ki Anom Surapati, Raden Arya tak serta merta pulang, langkah kaki kuda membawanya menuju sebuah telaga tak jauh dari rumah Ki Anom. Arya Sena duduk  di atas sebongkah batu besar menghadap telaga, yang airnya membentuk warna indah karena pantulan sinar bulan yang terang. Dalam duduk diamnya, Arya Sena memikirkan banyak hal, terutama tentang Dara, setelah beberapa lama akhirnya Arya Sena kembali ke Kediamannya.

             Pagi menjelang, kesibukan di sekitar kediaman Kanjeng Tumenggung sudah mulai terjadi jauh sebelum sang fajar menyingsing. Taman di sisi kanan pendopo masih sedikit lengang, hanya ada seorang gadis dengan rambut terurai panjang, menggunakan kebaya kuning yang bagian kerahnya ada sulaman warna keemasan, jarik yang digunakan senada dengan warna kebayanya. Cantik. Namun wajah murungnya tak bisa menyembunyikan bahwa ada kesedihan yang teramat sangat.

“Diajeng, sepagi ini sudah melamun di sini?.” Raden Arya duduk di sisi Dara.

“Raden, sampai kapan aku di sini?, ini bukan duniaku, aku ingin kembali ke masa dimana aku seharunya berada, akankah bisa?.”Ujarnya dengan sedu yang tertahan.

“Diajeng, lusa tepat dimalam purnama kita kembali ke hutan, gunakan pakaian yang Diajeng pakai ketika kita bertemu, bawa semua perlengkapan Diajeng, aku berjanji nanti Diajeng bisa kembali pulang.” Raden Arya berkata dengan mantap.

“Benarkah Raden?.” Dara berkata dengan nada yang sedikit tidak yakin, namun ada binar dimatanya.

             Raden Arya hanya tersenyum, dan mengangguk mantap, dengan tetap intens membingkai wajah Dara dengan mata teduhnya, seakan berupaya mengingat wajah itu dan tak ingin melupakan dari ingatannya. Tak ingin lupa sedikitpun dari tiap inchi wajah Dara, dengan kesedihan yang meremas hatinya. Cinta namun tak mungkin bersatu, dan berharap dikemdian hari, dirinya dilahirkan untuk bersatu dengan Dara, semoga.

           Sore menjelang, tepat saat waktu yang dijanjikan oleh Raden Arya, setelah Dara dengan mantap berpamitan dengan para penghuni di kediaman Tumenggung Raka Sena, dirinya meminta maaf kepada Kanjeng Tumenggung dan Ndoro Ayu yang mengusap lembut punggungnya saat mencium tangannya, menjabat erat Mbok Ti yang sering membantunya, memeluk Ratih yang setia menemani dirinya selama di sini, dan kepada para penari yang menagajarkan skill menari, juga pada semua pengawal istana yang dikenalnya. Sedih pasti tapi rasa rindu pada keluarga dan orang-orang yang dicintainya mengalahkan semua.

              Menjelang malam Dara dan Raden Arya sudah ada di tempat pertama bertemu, inilah saat-saat yang sangat dibenci oleh dua insan saling menyukai namun keadaan harus membuat saling mengikhlaskan.

“Diajeng, ini saatnya kembali, nanti ketika aku bilang melangkah ke depan, tolong fokus dan ingatkan dulu dalam pandangan Diajeng ada apa di tempat ini, dan fokus menuju titik tersebut, apapun yang terjadi jangan pernah menengok ke belakang, Diajeng paham.” Raden Arya Sena menjelaskan.

“Aku paham Raden, terima kasih atas semua kebaikan Raden selama aku di sini, dan ini tidak akan pernah aku lupakan, bahwa mengenal Raden adalah hal indah yang layak untuk aku kenang,” Jeda Dara, “Maafkan aku jika selama ini banyak kesalahan yang aku perbuat, maafkan.” Dara mulai terisak, bahagia dan sedih itu sangat tipis jaraknya.

“Diajeng, bolehkah aku memeluk Diajeng sebentar, biarkan aku merasakan bahwa hatiku pernah Diajeng curi dan terbawa oleh Diajeng entah bisa aku ambil kembali atau tidak, tapi aku harus mengikhlaskan Diajeng, bukankan cinta memang tentang sebuah keihklasan?.”

             Dara melangkah maju ke hadapan Arya Sena, dan memeluk erat tubuh pemuda itu, begitupun dengan pemuda tampan yang saat ini terdiam seakan meminta waktu untuk berhenti terus dan membiarkan dirinya bahagia memeluk pujaan hatinya. Namun lagi-lagi cinta bukan sebuah keegoisan.

“Diajeng, saatnya sudah tiba, berbaliklah dan ingat apa yang bisa diingat saat terakhir Diajeng ada di sini.” Arya Sena mengurai pelukannya.

             Dan membalikkan tubuh Dara kearah yang berlawanan, sesaat Dara terpejam dan mengingat bahwa waktu itu dirinya ingin ke warung kecil untuk membeli air minum. Saat matanya terbuka dan fokus benar saja di depannya ada warung kecil itu, Arya Sena berkata bahwa Dara harus menuju ke sana dan tak boleh menengok ke arah belakang. Ketika langkah kaki nya menuju titik itu, terdengar angin bergemuruh kencang, cahaya entah dari mana datang berkilatan dan suara teriakan Arya Sena terdengar kencang yang hampir saja membuatnya berbalik jika tak terdengar ucapan jangan menengok kebelakang. Tubuhnya seakan tersedok ke pusaran air, berputar-putar melayang entah seperti apa, sampai kemudian telinganya mendengar suara yang sangat dikenal dan dirindukannya, Mama.

“Alhamdulillah, Dara...Dara sadar, Allahu Akbar.” Teriakan itu memaksa matanya untuk terbuka. Dan ketika matanya sudah mampu beradaptasi dengan sekelilingnya, Ia memindai oramg-orang yang mengelilinginya.

“Mama?’ Kata Dara heran.

“Ya Allah, Nak ... dua hari kamu ga sadarkan diri di tengah hutan, kemudian teman-temanmu membawa ke desa Sendang Agung ini, mama begitu dikabari langsung menuju ke sini, Nak.” Ujar mama dengan berlinang air mata bahagia. Tapi Dara mengerenyitkan dahi, ‘Dua hari?, rasanya aku disana lebih dari seminggu, kenapa di sini hanya dua hari?.’ Kata Dara dalam hati.

             Dan Dara ingat sesuatu, Ia menanyakan tas ransel yang dibawanya, bergegas dia buka, tentu saja Dara terkejut karena selendang yang berada dalam tas nya adalah selendang yang Raden Arya berikan, bukan selendang yang dia miliki sebelumnya, karena selendangnya sudah Ia berikan kepada Raden Arya. Namun keheranan itu tak mungkin dia ceritakan pada orang-orang yang hadir, karena pasti tidak akan bisa diterima oleh akalnya.

           Ketika teman-teman lainnya mulai meninggalkan kamar tempatnya beristirahat, termasuk Andini yang memeluk erat dirinya dengan menangis tersedu-sedu, hal yang tak pernah Dara lihat sebelumnya, dan itu membuatnya tertawa yang dibalas pukulan ringan dilengannya. Sang ibu juga meminta ijin untuk beristirahat, karena nyaris selama dirinya tak sadarkan diri, wanita yang mulai menua itu juga tak bisa tertidur.

           Mata dara menerawang, melihat ke langit-langit kamar, sedang pikirannya tertuju pada satu nama, Raden Arya. Hingga suara itu terdengar lirih di sisi tempat tidurnya.

“Dara, kita bertemu lagi, setelah aku berpuluh bahkan beratus tahun menanti kamu, Diajeng” Ucap pemuda itu. Dara tersentak dan tak percaya pada pendengaran dan penglihatannya.

‘Kak Biem, ah buka itu suara Raden Arya, mata teduhnya, senyumnya dan bingkai wajahnya, tapi mungkinkah bisa terjadi?, bagaimana bisa Bimantara Sena adalah Raden Arya Sena.’

Kepalanya terasa berat, kesadarannya mulai berkurang, hanya satu suara lirih yang sempat dia dengar, “Diajeng’”

 

                                                                   ------ Tamat ------

Senin, 11 Oktober 2021

Selendang Dara (Part 6)

 #Cerita_Bersambung

                                                                          Design By Canva

 

             Dara yang akhir-akhir ini sering menunjukkan rasa sedih yang teramat sangat, membuat Raden Arya Sena merasa trenyuh. Walau dalam hati terdalamnya mulai merasakan ketertarikannya dengan Dara. Gadis yang telah mencuri hatinya. Namun rasa cinta tak serta merta membuatnya egois untuk menahan gadis itu menemaninya sebagai Ndoro Ayu. Beberapa kali melihat gadis itu tersedu, membuat hatinya luluh mencari cara untuk bisa mengantarkan gadis manis itu kembali kepada kehidupannya.

            Ketika sore menjelang, selepas pemuda tampan ini mejalan kan tugasnya membantu sang ayah, Kanjeng Tumenggung Raka Sena untuk mengawasi kinerja para penjabat desa di wilayah kepemimpinannya agar berjalan dengan baik dan tidak semena-mena terhadap rakyat. Dan memang dimasa kepemimpinan Kanjeng Tumenggung Raka Sena, wilayah-wilayah di bawah kekuasannya dalam keadaan tentram dan damai, terlebih Raden Arya Sena cukup paiwai menjalankan fungsinya sebagai orang kepercayaan sang ayah yang kelak akan menggantikan posisi Kanjeng Tumenggung.

            Biasanya sepulang menunaikan tugasnya, jika merasa lelah pemuda ini memilih mengurung diri di kamar untuk beristirahat namun tidak akhir-akhir ini, langkah kakinya selalu menuju ke arah pendopo mengikuti suara gamelan yang mengalun berharmonisasi dengan alat musik lain dan membentuk bunyi-bunyian  indah yang mengiringi langkah seseorang yang sedang menari dengan gemulai dan menjiwai, penari itu adalah Dara. Kepenatan yang mendera hilang seketika, menerbitkan selarik senyum indah di wajah tampannya. Debaran jantungnya tak lagi bisa dikompromi untuk berdentum hebat di dadanya. Namun ada sesak yang juga hadir, tatkala gadis pujaan hatinya menangis tersedu ditengah-tengah gerakan tariannya, tubuhnya melorot ke bawah seketika para dayang dan penari istana mengelilingi Dara, memeluk dan menghiburnya. Sejak itu dia bertekad akan berupaya mengantarkan Dara mencari jalan untuknya pulang.

“Diajeng, aku berjanji, apapun yang terjadi akan berusaha membawamu kembali pulang kerumah asalmu, sudah jangan bersedih lagi.” Dara masih sesenggukkan mendengar ucapan Arya Sena.

“Tapi aku tidak tahu apakah cara ini akan berhasil membawaku pulang, Raden?.” Ujar Dara sangsi.

“Kita coba saja, semoga akan menemukan jalannya.”

            Saat ini, setelah sebentar beristirahat dipinggir hutan tempat pertama mereka bertemu, Arya Sena memberikan sebuah selendang yang sengaja dia beli beberapa hari lalu, saat dalam perjalanan pulang dan melewati sebuah desa yang kebetulan sedang ada hari pasaran. Matamya melihat ke arah pedagang kain yang menjual selendang.

            Pikirannya lalu tertuju pada Dara, karena setiap melihatnya menari selalu menggunakan sebuah selendang. Dan pemuda ini pikir, alangkah baiknya jika memberikan sebuah selendang dari bahan terbaik untuk Dara. Selendang  dari kain sutra terbaik berwarna dominan kuning gading dengan sedikit dilengkapi manik-manik menambah elegan siapapun yang melihatnya. Begitupun dengan Dara, ketika tadi dia berikan selendangnya, tak bisa dipungkiri ada kilat kekaguman dalam mata gadis itu melihat selendangnya.

            Dan tak kalah bahagia karena gadis itu memberikan selendangnya yang selalu menemaninya menari. Tanpa sadar pemuda itu tersenyum sambil memegang tali kekang kuda dan merapatkan tubuhnya pada tubuh Dara agar tidak jatuh pada saat kuda ini melaju lebih kencang.

            Memasuki hutan hari mulai gelap, terpaksa mereka berjalan kaki ke arah dalam, dan meninggalkan kuda putih tersebut. Mereka berdua berjalan beriringan, dan sesekali Arya Sena harus memegang tangan Dara karena gadis itu terpeleset saat menginjak tanah lembab dan berlumut.

“Hati-hati Diajeng, kita akan sampai ke tempat pertemuan kita saat itu.” Ujar Arya Sena.

“Raden, apa yang akan aku lakukan untuk bisa kembali ke masaku?,” Ujar Dara memandang mata teduh namun tajam, manumbuhkan gelenyer rasa yang pernh Dara rasakan jika bertemu dengan Kak Bienm. Ah Kak Biem masih kalah tampan dengan Raden Arya Sena. Haish, dara bicara apa itu.

            Sampai dilokasi, dara serta Arya Sena memindai sekeliling, mencari clue apa yang bisa dijadikan petunjuk memulangkan dara. Namun lebih dari satu jam, mereka belum menemukan ide apapun.  Dara mulai merasa lelah hanya tak sanggup mengatakan apa-apa.

“Maafkan aku Diajeng, baiknya kita pulang saja sekarang, karena hari sudah demikian malam,  besok akan kita  lanjutkan sampai menenemukan petunjuk.”

                 Meski kecewa, Dara akhirnya berjalan beriringan menuju kuda putih yang tadi ditambatkan dan membawa mereka bedua kembali ke istana Kanjeng Tumenggung. Saat ini dara kembali harus menelan kekecewaannya. Tak terasa  air mata mengalis deras lagi dan lagi. Raden Arya Sena pun tak mampu berkata-kata, hatinya ikut tersayat-sayat mendengar isak tangis Dara sampai memasuki kamar paviliunnya. Arya Sena tak serta merta masuk kedalam kamar. Dia memandang kamar Dara sambil menarik nafas panjang, dan langkah kakinya berbalik arah menaiki kuda putihnya dan mengendarai dengan cepat menembus gelapnya malam tanpa pengawalan seperti biasa. Entah kemana pemuda itu pergi selarut ini bahkan dalam kondisi lelah. Mungkin cinta yang membuatnya lebih kuat dari biasanya.

                                                             ------ Bersambung -----

Kesan Pesan Untuk Blogspedia15DaysBlogChallenge

Ga kerasa, udah berakhir aja blog challenge rutinnya dari  blogspedia . Jujur banget, awal mau ikut rasanya maju mundur karena p...