Sabtu, 09 Oktober 2021

Selendang Dara (Part 4)

 #Cerita_Bersambung


Design Cover by Canva


            Mengikuti Pangeran berkuda putih bernama Arya Sena menuju kediamannya yang ternyata sebuah bangunan kerajaan, Dara serasa di alam mimpi, berulang kali memastikan diri bahwa ini tidak benar-benar terjadi, nyatanya semua yang dialaminya adalah nyata. Semalaman Dara menghabiskan waktu dengan menangis, ingat orang-orang terkasih yang telah ditinggalkannya. Dan itu benar-benar menguras tenaga dan emosinya.

            Hari ini, Dara mulai membiasakan diri dengan kondisi sekitar. Mulai terbiasa dengan suasana asri khas pedesaan, kesibukan yang tak seperti yang dia jalani dalam kehidupannya, di sini kesibukan yang terlihat sangat kontras. Orang-orang yang berpakaian pengawal dan abdi dalem hilir mudik melakukan aktivitas masing-masing, sesuai dengan bagian atau jabatannya mungkin.

            Pengawal yang berpakaian dengan menampilkan dada terbuka, sepertinya bertugas sebagai penjaga, karena memegang sebuah tameng dan tombak panjang, dengan posisi diam tak banyak beraktivitas berdiri di pintu masuk atau di area menuju rumah Kanjeng Tumenggung Raka Sena. Sedang yang menggunakan pakaian tradisional lengkap dengan blankon khas sepertinya memiliki posisi atau jabatan yang lebih tinggi. Begitupun para wanitanya, jenis pakaian sepertinya juga mempengaruhi posisi mereka di istana Tumenggung ini.

            Baru saja Dara ingin berjalan menuju pintu, dengan perlahan pintu kamarnya terbuka, terlihat seraut wajah manis seorang wanita muda, mungkin seusia dengan Dara menyembul dari balik pintu. Gadis manis ini sedikit membungkuk memberikan penghormatan kepada Dara. Dengan tersenyum kemudian berjalan menghampiri dara yang masih berdiri di sisi kanan jendela kamarnya.

“Raden Ayu, perkenalkan nama hamba Ratih, Mbok Ti meminta hamba untuk menemani Raden Ayu berjalan-jalan atau jika membutuhkan sesuatu,semoga Raden Ayu berkenan.” Ratih, gadis abdi dalem itu mrmbungkuk di hadapan Dara dengan menangkupkan kedua tangannya di dada tanda penghormatan. Tentu saja Dara merasa risih diperlakukan seperti itu.

“Hai Ratih, perkenalkan namaku Dara, kamu cantik sekali berpakaian begini,” Dara berjalan mendekati Ratih, seraya menepuk pundaknya,  “jadi seperti aktris pemeran dalam film kerajaan yang aku sering tonton, salam kenal yaa, kita jalan-jalan yu, aku ingin menghirup udara segar di desa ini.” Ujar Dara melanjutkan, seraya menarik tangan gadis itu keluar dari kamar. Awalnya Ratih keberatan jika harus berjalan berdampingan dengan Dara, tetapi Dara memaksa Ratih untuk berjalan di sisinya seperti yang biasa dia lakukan dengan Andini.

            Di ujung lorong yang menghubungkan paviliun tempat Dara menginap dengan rumah Kanjeng Tumenggung, dan berbatasan dengan taman di sisi kanan serta sisi kiri terdapat gazebo, Dara berpapasan dengan Raden Arya Sena, yang tampak semakin tampan dengan pakaian beskap lengkap dengan blangkon yang digunakan, elegan dan benar-benar memesona.

“Pagi Diajeng, hendak kemanakah Diajeng sepagi ini?, dan kenapa hanya berdua dengan Ratih? Diajeng perlu pengawal jika berjalan-jalan keluar dari istana ini.” Ujar Arya Sena.

“Pagi Raden, wah segar sekali melihatmu perpakaian ala bangsawan seperti ini Raden, semakin tampan,” Dara menjawab seraya berjalan menghampiri Arya Sena, terlihat Ratih sangat gugup dan bingung melihat Dara yang dengan lancang mendekati Arya Sena tanpa membungkukkan badan tanda penghormatan, namun Arya Sena justru tersenyum mendengar ucapan Dara.

 “Aku mau melihat-lihat pemandangan sekitar sini, Arya, bosan jika harus terus di dalam bangunan yang mirip istana ini, yang ada malah membuat aku menangis terus ingat keluarga dan teman-temanku.” Dara berkata sambil berbisik kepada Arya Sena, dan memanggilnya tanpa menggunakan sebutan Raden. Arya Sena tentu saja sedikit terkejut, apalagi para pengawal dan Ratih, tetapi gerakan mengangkat telapak tangan terbuka Arya Sena yang diartikan sebagai tidak apa-apa, membuat para pengawalnya pasrah dan hanya diam.

“Baiklah Diajeng, kalau demikian, jika Diajeng memerlukan sesuatu katakan saja pada Ratih atau Mbok Ti, nanti mereka yang akan membantu Diajeng, aku pamit dulu hendak menghadiri acara di pusat kota”ujar Arya Sena seraya melangkah, Dara mengangguk memepersilahkan, namun baru beberapa langkah berjalan, Arya Sena berbalik, “Oh iya, nanti malam Kanjeng Romo Tumenggung dan Kanjeng Ibu ingin bertemu denganmu, Diajeng, biar mbok Ti nanti yang mengantarkan ke rumah utama.” Katanya lagi,  kemudian berlalu dengan mengendarai kuda putih diiringi oleh beberapa pengawal yang juga berkuda menghilang setelah melewati gerbang tinggi.

“Maaf Raden Ayu, tadi kenapa memanggil Kanjeng Raden Arya Sena hanya namanya saja?, bukankah itu sangat tidak sopan sekali? Bahkan jika rakyat biasa mengatakan hal itu, akan mendapatkan hukuman,” Ujar Ratih pelan dan hati-hati, sepeninggal Raden Arya.

“Eh begitukah Ratih?, aku pikir karena kami seumuran jadi boleh saja memanggil hanya nama, seperti aku dengan teman-temanku di Kampus, tapi baiklah aku janji tidak mengulangi lagi, ayo Ratih kita jalan-jalan.” Kata Dara sambil menarik tangan Ratih dan berlari kecil menyusuri jalan ke arah belakang menuju pendopo.

            Dara mulai berdamai dengan keadaannya sekarang, mulai bisa menikmati kehidupan yang sama sekali jauh dari pikirannnya. Sudah hari kedua Dara di sini, terperangkap dalam kehidupan istana.  Semalam Kanjeng Tumenggung dan Ndoro Ayu memanggilnya, menanyai banyak hal, khawatir bahwa Dara ternyata mata-mata dari kerajaan lain. Namun dari percakapan yang terjadi, justru Kanjeng Tumenggung, Ndoro Ayu dan Raden Arya Sena juga para pejabat istana lebih sering menarik nafas dalam-dalam atau mengerenyitkan kening tanda bingung dan tak mengerti.

            Seperti pertanyaan Kanjeng Tumenggung yang menanyakan naik apa Dara ke hutan sana, dara menjawab naik bis karena kendaraan dari Jakarta sampai ke daerah selatan Jawa barat ini hanya bisa dilalui dengan menggunakan bis karena pergi dengan rombongan. Akhirnya sementara Tumenggung berkesimpulan bahwa Dara adalah gadis yang tersesat dan sedang menderita sakit. Hanya Arya Sena yang sedikit mempercayai apa yang di ucapkan Dara, pemikiran mudanya dan terbuka, membuat dirinya bisa berfikiran lebih jauh meski di luar nalarnya.  

            Hari terus berjalan. Kegemaran Dara akan menari mendapatkan penyaluran yang sangat baik. Para penari istana dengan suka rela mengajari berbagai macam tarian yang biasa di lakukan pada acara-acara tertentu di kerajaan ini  Kemahiran menari Dara akhirnya sampai ke telinga Raden Arya Sena dan dengan diam-diam pula seringkali memperhatikan Dara menari. Ada perasaan hangat menjalar ketika melihat Dara menari, ah ... bukan hanya menari  saja tetapi ketika berbicara, ketika tersenyum bahkan ketika berjalan membelakanginyapun perasaan yang entah ini menghinggapi hati sang pangeran muda. Dara sudah merupakan candu baginya.

            Dan pemuda yang selama ini nyaris tak pernah membuka diri untuk bergaul dengan para gadis meski sama-sama berasal dari garis keturunan bangsawan dan terang-terangan berusaha menarik perhatiannya, namun sang Raden tetap acuh. Tetapi dengan Dara, entah bagaimana dia malah yang ingin selalu berdekatan dengan gadis itu. Bahkan jika malam menjelang, tak rela rasanya jika harus berpisah untuk beristirahat di masing-masing kediamannya. Duh Ciloko Raden, kamu kena penyakit kasmaran sepertinya.

 

                                                        --------- Bersambung ---------



2 komentar:

  1. Lanjut min ... Penasaran ending nya. Bikin bersatu dong, Dara dan Raden Arya Sena

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, kasian Abiem ga sihhh, kayana udah mulai mepet2 Dara kaan??

      Hapus

Kesan Pesan Untuk Blogspedia15DaysBlogChallenge

Ga kerasa, udah berakhir aja blog challenge rutinnya dari  blogspedia . Jujur banget, awal mau ikut rasanya maju mundur karena p...