Sumber gambar: Google
Sebagai seorang anak kecil usia sekolah dasar, banyak cita-cita yang ingin aku wujudkan. Ketika melihat gagahnya seorang polisi wanita, maka aku kecil ingin kelak menjadi seorang POLWAN. Melihat hebatnya seorang dokter menyembuhkan seseorang yang sakit, maka cita-citapun berubah ingin menjadi seorang dokter. Begitu seterusnya. Hingga suatu ketika bertemu dengan seorang guru di sekolah yang sangat istimewa dan baik tentu saja. Memberikan banyak motivasi untuk aku, seorang anak kecil dari sebuah desa di pinggiran Bekasi yang kala itu masih jauh dari hiruk pikuk perkotaan, dengan keadaan ekonomi orangtua yang jauh dari sejahtera, untuk bisa memiliki rasa percaya diri bahwa aku memiliki banyak keistimewaan yang kelak bisa menjadi manusia yang berguna, apapun profesi yang nantinya aku pilih. Motivasi beliau, sampai masa berikutnya selalu aku ingat, sebagai sumber kekuatan ketika rasa lelah dan putus asa untuk dapat menjadi seseorang yang aku cita-citakan. Karena untuk melanjutkan sekolah saja rasanya sudah sangat sulit. Apalagi mewujudkan mimpi.
Hingga memasuki masa Sekolah Menengah Atas (SMA) tak ada lagi cita-cita yang ingin aku raih.Keadaan ekonomi semakin sulit, ultimatum yang aku dapatkan, tak bisa melanjutkan pendidikan selepas sekolah. Dan seyogyanya aku harus mencari pekerjaan agar bisa membantu perekonomian keluarga. Namun kerapkali aku gelisah ketika ingat nasehat dan motivasi sang guru masa dulu, bahwa berjuang meraih mimpi adalah sebuah bentuk jihad karena artinya berjuang keluar dari keputusasaan dan mempercayai bahwa Allah tentu tak akan meninggalkan hambaNya berjuang sendiri untuk menjadi manusia yang lebih berguna, dengan bertambahnya ilmu dan pengetahuan yang didapatkan. Kata-kata itu terus saja mengisi kepalaku bahwa aku harus mewujudkan mimpiku saat ini, aku ingin jadi psikolog, aku ingin memberikan manfaat dan jalan keluar bagi orang-orang yang membutuhkan, seperti orang-orang disekitarku yang banyak hidup dalam keputusasaan dengan berbagai faktor, ekonomi salah satunya.
Pengumuman seleksi ujian masuk perguruan tinggi negeri jalur prastasi akademik telah keluar, namaku ada dalam daftar penerima di jurusan psikologi pada sebuah kampus negeri di wilayah tengah pulau jawa. Senang tentu saja. Namun mimpi itu ternyata harus dipadamkan, karena penolakan orangtua yang menyuruhku untuk berfikir realistis. Biaya kuliah tak murah apalagi jauh dari tempat tinggal orangtua. Aku menyerah. Mungkin nasib baik belum bisa berpihak padaku saat ini.
Selanjutnya sudah dapat ditebak alurnya, langkahku memasuki dunia keja yang memang di masa itu sangat umun dialami siswa-siswa lulusan sekolah menegah seperti kami. Pabrik-pabrik baru saja dibuka di kawasan industri di wilayah kami. Yang menjanjikan gaji dan kehidupan nyaman dengan menghasilkan uang sendiri. Aku tenggelam dalam kehidupan tersebut, namun sejatinya hatiku gelisah, aku merasa ini bukan yang aku inginkan, aku harus keluar dari situasi ini. Aku ingin menuntut ilmu lebih tinggi, aku ingin kuliah.
------ Continued -----
Ditunggu lanjutan ceritanya Bu :)
BalasHapusHihihi...siaaapp
Hapusmasya Allah. aku juga mengalami hal yang sama. tetapi aku telat jauh ketika berani mengambil keputusan untuk kuliah. hatiku terus memberanikan raga untuk bertahan. membaca kisah buguru hatiku seakan mendapat guyuran semangat. makasih untuk sharing-nya buguru
BalasHapusProses menuntut ilmu kita sama yaa mba, hasil tempaan keadaan, semoga ilmu yang diraih bisa memberikan manfaat buat banyak orang, aamiin
HapusJadi inget, dulu setelah pengumuman lulus. Udah nyiapin segala macam surat untuk ngelengkapis ngelamar kerja di pabrik. Tiba-tiba, hati pindah haluan pengen kuliah. Walhasil, kuliah sambil kerja part time.
BalasHapusKalau aku awalnya ga punya cita2 jadi guru. Tapi karena kuliah di jurusan pendidikan, mau ga mau jadi guru deh. Lalu setelah dijalani, masyaallah malah langsung jatuh cinta. Jadi guru itu ga 'sesimple' yg aku kira. Byk bgt ilmu + pengalaman yg didapat setelah terjun sendiri 🤩🤩
BalasHapus