Sabtu, 04 September 2021

Menulis Jalan Ninjaku Menghalau Kegabutan

 

         (Cerpen Fiksi)

 

                                                                                   

            Suatu siang di hari libur, kala kegabutan maksimal melanda, aku bingung harus melakukan apa. Mama pergi dengan gengk sosialitanya ke gang sebelah, bercengkrama untuk mengapdet informasi terkini tentang banyak hal, karena mereka tergabung dalam Asosiasi emak2 gang Senggol Untuk Percepatan Informasi (ASUPIN) katanya, percakapan mereka tentu saja beragam, karena moto mereka mempercepat arus informasi emak-emak penghuni gang senggol ini. Mulai dari kasus narkoba yang menimpa para pesohor, perihal kawin cerainya, harga ayam potong yang mengalami kenaikan, tentang bu Amran yang suka minta bumbu dapur ke rumah tetangga setiap hari sampai pada vaksin yang bisa untuk keluar negeri itu jenis apa, padahal lihat pesawat aja mama bilang sudah pusing. Akrofobia katanya. Ada juga kosa kata keren yang nyangkut di kepala  mama, hehehe. Ah jadi ikut ghibahin mama dan genk nya deh.

            Dalam kegabutan akut  yang melanda ini, tak ada niatku untuk membuka buku-buku pelajaran, apalagi mengerjakan PR yang seabreg-abreg itu, seolah dalam era daring ini para guru berlomba-lomba memberikan tugas-tugas mata pelajarannya. Sepertinya semakin banyak memberikan tugas semakin terlihat keren, setidaknya itu opiniku sebagai siswa, agak sedikit kurang ajar sih ya.

             Hari libur seperti ini, berselancar ke dunia maya adalah pilihan yang tepat dari pada belajar, menurutku, padahal dengan menengok medsos, aku seringkali melihat status media sosial teman-teman yang kadang membuat iri. Mereka kerap memposting acara mereka bersama keluarga yang terlihat asik, dengan view pegunungan yang asri, sepertinya mereka sedang pergi jalan-jalan. Ada yang tengah membeli barang branded, adapula status teman yang sedang galau akut, karena sempat melihat gebetannya nge love medsos wanita lain. Ah, lama-lama tetep bosan juga, ga  membuatku menarik. Sampai kemudian ponselku berdering, tertera nama seorang teman yang aku merasa tidak dekat dengannya, Ratih, tetangga beda gang, tetapi kami bersekolah di tempat yang sama sejak SD.

[Assalamualaikum Hana, maaf mengganggu]

[Waalaikumsalam Ratih, ga apa-apa, ada apa ya, Tih?]

{Han, mau bantu aku ga?, aku kan selama ini suka banget menulis, ikut beberapa grup kepenulisan dan alhamdulillah, beberapa kali juga menjuarai lomba-lomba menulis gituh]

[Wah, keren ... selamat yaa]

[Haish bukan begitu, aku tau kamu juga suka menulis dari Ratna, walau kata dia kamu ga suka publish hasil tulisan kamu, nah aku mau minta tolong nih, bantuin aku ya ikut lomba menulis karya ilmiah, anggotanya minimal dua orang, waktunya mepet dan cuma  kamu yang dekat rumahnya denganku, jadi kita bisa mudah berdiskusi]

            Akhirnya, dengan sedikit terpaksa, karena ga enak untuk menolak, aku mengikuti ajakan Ratih untuk lomba tersebut bersamanya. Awalnya agak kesulitan memahami seperti apa karya ilmiah tersebut, karena selama ini hobi menulisku sebatas  menulis caption dalam media sosial, meski memang beberapa kali tulisan gaje ku nangkring di blog OSIS. Tapi kurasa bukan karena bagus, hanya karena tidak ada yang berminat menulis di sana.

            Belajar menulis karya ilmiah populer ini  memaksa seluruh kerja otakku lebih keras berfikir. Ratih dengan sabar dan telaten menjawab semua pertanyaan yang aku ajukan kala tidak mengerti. Saat itu kami belajar bersama selepas pembelajaran daring. Beruntung masih belajar daring, karena tenaga juga tidak ikut terkuras seperti kerja otakku ini akibat menulis karya ilmiah.

            Tiba saat pengumunan hasil seleksi abstrak, lomba yang diadakan salah satu kampus bergengsi ini menampilkan pengumumannya di web yang telah ada dalam poster perlombaan. Hal yang tidak pernah terfikirkan bahwa nama kami keluar sebagai salah satu pemilik karya ilmiah yang lolos seleksi abstrak dan berhak masuk ke babak perlombaan selanjutnya. Apa coba yang aku rasakan? Seneng? Kaget? Ah pokokmya gabungan dari semua itu. Ku peluk Ratih dengan perasaan, entah. 

           Walau akhirnya kami bukanlah menjadi pemenang, tapi perlombaan ini menyadarkan diri bahwa kegabutan itu bisa diisi dengan sesuatu kegiatan yang bermanfaat. Banyak kegiatan yang dapat kita lakukan untuk memberikan manfaat bukan hanya bagi diri sendiri tapi juga untuk banyak orang. Ratih, kemudian menjadi sahabat yang dekat denganku sampai bertahun-tahun kemudian. Kebiasaan  mengikuti lomba-lomba kepenulisan membuat kami terbiasa menulis. Di masa kuliah, meski berbeda kampus, kegilaan kami dalam menulis tidak pernah pudar. Dan ternyata benar menulis menjadi jalan ninjaku kala kegabutan yang melanda, bahkan ketika tidak sedang gabut sekalipun, menulis adalah candu tepatnya bagi kami. Terima kasih Ratih telah mengenalkan aku, seorang Hana Maharani ke dalam dunia tulis menulis.
 
 

2 komentar:

  1. menulis menolongku jugaa. disaat malu dan tidak percaya diri aku juga menulis dan terselamtkan. tapi nulis cerpen. karil berad hehe

    BalasHapus
  2. Haha, dengan menulis aku seperti jadi diriku sendiri mbak
    bebas mengemukakan opiniku terlebih di media sosial

    dan, aku sebenernya paling ga bisa bikin cerpen mbak, selalu ambyar...ini lagi ga ada ide lain aja hehehhe

    BalasHapus

  MODUL AJAR MANUSIA, RUANG DAN LINGKUNGAN     I.           IDENTITAS MODUL                                                 ...