Kamis, 09 September 2021

Nikah Muda : Antara Hijrah dan Cita-cita

 

            Bagi masyarakat yang ada di pedesaan mungkin menilai bahwa gadis yang menikah ketika usia memasuki awal angka ke-20 tahun adalah hal yang biasa. Tapi untuk aku yang tinggal di tengah kota Bekasi dan saat itu kebetulan sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri di wilayah Jakarta cukup mengagetkan. Terutama bagi teman-teman kuliahku. Pasalnya saat itu aku baru saja memasuki semester lima masa perkuliahan. Masa-masa yang masih penuh dengan romantika perkuliahan dengan berbagai macam intriknya. Di semester itu, masa mulai timbul kejenuhan dalam menjalani perkuliahan, tugas-tugas yang menumpuk dan tentu saja kadar tugasnya pun bukan kaleng-kaleng, alias lumayan membutuhkan tenaga, airmata dan biaya dan tentu saja menuju lulus belum ada bayangan.

            Tetapi di masa itu juga, masa dimana mahasiswa mulai menikmati perannya sebagai pelajar pada sebuah perguruan tinggi. Masa menggantung harapan yang begitu tinggi akan mimpi di masa depan. Termasuk tentu saja terkaitdengan hati mulai mereka-reka siapa dan seperti apa yang kelak akan jadi pendampngku, hanya sebatas itu belum terfikir kapan masa untuk menikah itu hadir. Tetapi entah bagaimana, akhirnya saat itu, aku menerima lamaran seorang laki-laki yang juga berstatus sebagai mahasiswa semester tujuh pada sebuah perguruan tinggi lain, walau disamping statusnya sebagai mahasiswa, laki-laki yang usianya tiga tahun di atasku ini berani melamarku, meski dia berstatus  karyawan juga  pada sebuah perusahaan otomotif yang tak jauh dari kampusku.

            Banyak yang mengira pertemuan kami karena lokasi pekerjaannya berdekatan dengan lokasi kampusku, tapi ternyata pertemuan jodoh tidak melulu begitu. Bahkan kami bertemu di luar lokasi yang seharusnya kami sering bertemu, meski mungkin tidak saling mengenal. Seseorang yang mempertemukan kami itu sebagai kakak kelas ketika aku SMA, dan bahkan akupun tak pernah bertemu dengannya dulu di sekolah karena ia lulus dan aku baru memasuki sekolah dimana kami belajar tetapi setahun belakangan kepadanya aku sering datang untuk berdiskudi tentang banyak hal terutama tentang keislaman. Entah dengan pertimbangan apa, kakak kelasku ini memberikan sebuah biodata seorang laki-laki yang katanya meminta ta’aruf denganku, aku tak langsung menerima, karena memang belum ada dalam kamusku untuk bisa menikah secepat itu, dan bahkan kami tak saling kenal, ibarat membeli kucing dalam karung, aku tak mau terjebak dalam keadaan yang tak aku ingini. Jika laki-laki itu nanti ternyata bukan tipeku.

            Tapi kakak kelasku mengatakan, tak perlu menerima jika nanti tidak ada kecocokan bagi kami ketika menjalani proses taaruf ini, karena wanita berhak untuk menolak. Dan belum tentu juga laki-laki yang biodata nya aku genggam ini juga mau, jelasnya saat itu. Demi untuk menyenangkan hatinya, karena tak enak juga aku menolak, maka aku setujui proses taaruf ini pada fase selanjutnya. Dan aku berfikir belun tentu juga orangtuaku akan menyetujui, karena aku masih kuliah, belum ada hilal untuk lulus kapan.

 

                                                                    ~To be continued~

8 komentar:

  1. Waaa Bu Emmi ini kisah nya 11, 12 sama diriku. Cm Rika udah di semester aman. Lagi proses bab III. Xixixi. Begitu sj udh kelimpungan apalagi semester sibuk ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. waahhh, enaknyaaa, aku masih masa-masa hectic banget itu, langsung hamil pula, alhasil sidang proposal dalam kondisi hamil 9 bulan dan sidang skripsi dalam masa menyusui karena baby baru 40 hari. kebayang dong masa-masa ngejar-ngejar dosen pembimbing disaat seperti itu, huwaaaahhhh

      Hapus
  2. seandainya aku bisa seperti itu pasti urusannya akan lebih mudah. kok sulit buat aku menjalani proses ta'aruf. udah illfell duluan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyakah mba? apa karena memang belum jodoh kali ya mba, entah kenapa aku pas taaruf dan langsung diajak nikah kok kaya gada perlawanan banget yaa hehehhe

      jangan-jangan kalo aku saat itu mikirnya mumpung ada yang mau yaaa? atau bener kata temen-temenku, cari suami asuh untuk membiayai kuliah, jahaaappp bangettt merekaa, walaupun ada benernya juga hehehe

      Hapus
  3. Aku semester 5 sama skali ga mikir nikah. Msh jauh bgt dari angan2..hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. hiks...aku juga awalnya, tapi malah dateng jodoh di masa itu dan alhamdulillah sampai saat ini dan semoga hingga syurgaNya Allah

      Hapus
  4. Keren, keputusan yang membutuhkan keberanian ya. Pilihan yang harus dibayar dengan harga yang tak murah, berjuang lulus kuliah. Alhamdulillah dimudahkan oleh Allah. Dan bahagia sampai saat ini. Samawa terus ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, ga mudah memutuskan sesuatu pilihan terbesar dalam hidup saat itu. Tapi Allah maha kasih dan maha baik, hingga sampai saat ini dan semoga sampai kelak dipertemukan lagi dalam SyurgaNya

      terima kasih sudah mampir

      Hapus

  MODUL AJAR MANUSIA, RUANG DAN LINGKUNGAN     I.           IDENTITAS MODUL                                                 ...