Sumber gambar: google.
Laki-laki itu, yang belakangan ku hafal namanya yaitu Askar dan selalu ada dalam doaku, memiliki nama yang singkat. Sesingkat pertemuan kami. Pertemuan pertama itu yang hanya didampingi kakak kelasku serta suaminya, tak banyak yang aku tanyakan, hanya seputar tujuan menikah, komitmen pernikahan, termasuk kesiapan biaya untuk hidup kedepan dan juga menangung biaya kuliahku. Ternyata dia menyanggupi. Bahkan beberapa hari kemudian dia datang langsung ke rumahku untuk menyampaikan langsung keinginnanya untuk mempersuntingku. Meski kaget, kedua orangtuaku menyambut baik niatnya, karena menurut pemahaman mereka, kami saling mengenal sejak lama, semacam pacaran sebagaimana umumnya. Dan memang aku tak menceritakan kronologi pertemuan dengannya. Khawatir malah akan langsung ditolak, bagaimanapun menurut mereka menikah itu harus ada rasa cinta dan kesesuaian masing-masing yang dibangun beberapa waktu sebelum menikah, akupun sepemikiran kala itu. Tapi entah kenapa, semua berjalan begitu cepat dan lancar. Hanya berselang satu bulan kami melangsungkan pernikahan. Membuat kaget banyak orang tentu saja.
Karena sejak awal menikah laki-laki yang telah menjadi suamiku ini mengatakan tak ingin menunda kehamilan. Dan tak butuh waktu menunggu, satu bulan kemudian aku mengandung anak pertama. Meski berkata siap, tetap saja ada kekagetan yang kami rasakan, terutama aku. Ketidaksiapan menjadi ibu dalam waktu yang begitu singkat, dan aku merasa masih sangat muda untuk menyandang panggilan ibu, terlebih rumor negatif yang mengatakan bahwa aku menikah cepat karena hamil diluar nikah. Ah jahatnya. Andai mereka tahu bahkan ketika proses pernikahan kami yang dibuat terpisah itu, aku tak mengingat jelas wajahnya. Masa sebulan dari perkenalan hingga menikah terbilang hanya lima kali kami bertemu dan itupun selalu ditemani oleh mahramku.
Sebelum mengetahuni kehamilanku, aku mengikuti acara KKL (Kuliah Kerja Lapangan) di kampusku yang mendapat lokasi di ujung Garut yang topografi daerahnya berupa perbukitan serta dikelilingi juga oleh pantai. Daerah Pameungpeuk. Terbayang wanita hamil muda yang dirinya tidak tahu kalau sedang mengandung, mengikuti kegiatan KKL selama hampir satu minggu. Kegiatan yang cukup melelahkan dilakukan berhari-hari. Hingga ketika sampai di rumah. Kondisi perut sakit luarbiasa, mulas, ngilu dan panas disekitar perut bagian bawah. Namun karena harus mengikuti perkuliahan maka aku paksakan hadir ke kampus. Namun pendarahan akibat luruhnya janinku tak dapat ditahan. Dosen memintaku untuk segera pulang karena memang kondisinya mengkhawatirkan. Dan aku, bingung harus bagaimana, benar-benar seperti mimpi. Calon anakku pun harus kami relakan untuk kembali kepada pemiliknya, Allah.
Ohiya, menikah muda, apalagi melalui proses yang singkat, membutuhkan banyak waktu dari hari ke hari untuk saling memahami. Tak terhitung berapa kali salah faham yang berujung deraian airmata, tak terhitung berapa kali harus sama-sama menelan kesabaran untuk bisa saling memahami ritme kehidupan masing-masing keluarga besar yang tentu berbeda. Membagi waktu antara, kuliah, teman, organisasi, keluarga besar tentu saja pada pasangan, dan mengakomodir semua itu tak semudah mengedipkan mata. Mengatur keuangan yang sebelumnya tak pernah terfikirkan akan seperti ini juga memerlukan latihan kesabaran yang ga main-main juga, karena ultimatum keluarga ketika menikah, pembiayaan hidup harus kami tanggung berdua, konsekuensinya.
Tapi kini, memasuki tahun ke-20 dan dikaruniai 4 putra putri yang sholeh/ah, rasanya nostalgia masa-masa itu masih terus indah untuk diingat. Keberanian melangkah kejalan yang kami yakini Allah akan meridhoi, dengan pemahaman religiusitas kami yang masih jauh dari bagus, berupaya menjaga hati, pikiran dan fisik dari hal-hal yang Allah tidak sukai. Menikah muda bukan sesuatu yang harus ditakuti dan dihindari, meski ada banyak yang mengalami kegagalan dalam menjalaninya. Namun tak sedikit juga yang menikah cukup usia namun Allah takdirkan juga untuk berpisah, bukan?. Jadi langgengnya pernikahan tak melulu sebab karena pernikahan usia muda saja.
Ketika pasangan yang relatif muda memutuskan untuk bersatu, ada banyak hal yang menjadi komitmen bersama sebelum memasuki jenjang pernikahan. Ha-hal yang kelak akan memicu pertikaian dan kesalahpahaman ada baiknya dibicarakan sedari awal untuk meminimalisir akan meledak nanti ketika ikrar janji suci pernikahan sudah dibacakan. Akan ada banyak pihak yang akan dikecewakan. Jadi, jangan takut menikah muda.
Nikah muda? siapa takut :)yang penting siap lahir batin
BalasHapusbener mba, kesiapan mental dan juga finansial jadi bahan pertimbangan juga ketika akan melangkah. karena rentan menjadi pemicu gejolak di masa-masa awal penyesuaian. usia muda emosi masih sangat perlu ditata agar bisa tetap cool dalam segala situasi.
BalasHapusmasyaallah perjuangannya...mba dozen... rika terharu bacanya
BalasHapusYang diceritakan bahkan ga seberapa dengan realita mbak
Hapustetapi tetep bersyukur sampai pada titik sekarang, Masyaallah, Allah sangat baik
Kebalikan, aku dan suami juga nikah melalui ta'aruf anak-anak tahu itu tapi giliran sulung mau di ta'aruf prosesnya nggak muda. Ia masih pengen kenalan dan suka-sukaan. Heu... Entah dapat value dari mana dia. Akhirnya dengan kesabaran bisa kami sadarkan. Dan Juni lalu kamu mengadakan walimahan
BalasHapusBarangkali era kita dulu berbeda dengan yang sekarang tentang sebuah penerimaan ajaran atau apalah, anak-anak kita sekarang entah terlalu berfikir kritis atau memang karena banyak pergeseran nilai yang nggak kita sadari
HapusEh tapi masyaAllah, Bunda Tami sudah melewati fase melepas masa lajang anak sulung, Barrakallah Mb...